Rumah Si Waluh Jabu

Diposting oleh Ricky_Jo Blog's | 9:48 PM | 3 komentar »

Siwaluh Jabu

Memasuki pertengahan Januari 2008 di Kabupaten Karo “simalem”, hujan terus mengguyur. Dan kabut tebal menutupi hampir seluruh cakrawala bukit barisan yang seharusnya membentang hijau itu. Angin berhembus dan cuaca begitu dingin. Pun demikian, tujuan saya untuk melihat langsung bangunan tua bersejarah “Si Waluh Jabu” di Desa Peceren yang juga kampung halaman tak berhenti hanya karena cuaca yang tidak begitu bersahabat waktu itu.

Menjelajahi kawasan pedesaan di sekitar Kabupaten Karo atau wilayah yang juga dikenal dengan “Tanah Karo Simalem” ini memang sebuah pengalaman menarik, khususnya bagi khalayak yang sudah akrab dengan hiruk-pikuk urbanisasi modern saat ini.

Memang, modernisasi bukan saja mampu membentuk pola hidup manusia yang serba instan dan cepat, tapi juga ternyata mampu mempengaruhi imajinasi. Imajinasi akan sebuah desa. Yah, begitulah desa, sebuah tempat yang masih akrab dengan sejuta nilai meski kini mulai terkontaminasi. Mulai dari tradisionalisme atau budaya hingga nilai yang mungkin tak lagi akrab di telinga orang kota, yaitu mistis. Barangkali itu jugalah yang tertangkap “Jelajah” saat mengunjungi Desa Lingga, Barusjahe dan Peceren baru-baru ini.

Desa Peceren adalah sebuah desa kecil di Kecamatan Berastagi, sekitar 1 km dari Berastagi. Desa ini, sebenarnya tak lagi setradisional yang kita bayangkan. Karena Sebagian besar penduduk kini menghuni rumah tipe perkotaan, juga karena kian menjamurnya Villa, Hotel dan Perumahan. Tapi, Desa Peceren masih menyimpan nilai sejarah budaya masa lampau yang menceritakan keaslian budaya masyarakat Karo. Hal ini dapat dilihat dari bangunan tua yang masih beridiri tegak di sana. Diperkirakan usianya kini mencapai 300 tahun. “Si waluh jabu”, desain arsiteknya unik, filosofis bahkan mistis. Bangunanya sangat unik karena dibuat tanpa menggunakan paku dan juga dapat di pindah-pindah.

Si waluh jabu; waluh artinya delapan, jabu berarti rumah. Maka, si waluh jabu berarti rumah yang dihuni delapan keluarga yang hidup harmonis dan toleran. Dan itulah sebenarnya yang menjadi makna filosofis pemberian nama itu meski pada awalnya dikenal dengan rumah “rabung lima”.

Yang unik adalah proses pembangunannya. Konon, sebelum pembangunan dilakukan, terlebih dahulu diberitahu kepada orang pintar yang akan menentukan hari baik untuk melakukan pencarian kayu ke hutan. Setelah itu, orang pintar tersebut akan menentukan apakah kayu-kayu itu layak dipakai atau tidak melalui mimpi. “Jika mimpinya baik, maka kayu itu akan dipakai tapi jika mimpinya buruk, itu pertanda buruk. Hal ini sangat penting dilakukan demi kelangsungan penghuninya nanti,” kata Tarigan seorang penghuninya.

Selanjutnya adalah penentuan hari baik untuk memulai pembangunan. Tak heran jika dalam proses pembangunan memakan waktu yang cukup lama (5-10 tahun). Pembangunan kadangakala tekendala oleh waku pencarian kayu, yang tidak sembarangan dipakai. Ada tiga jenis kayu mewakili maknanya yang sekaligus menjadi harapan masa depan penghuni rumah. Inilah makna filosofisnya.

Kayu ”ndarasi” misalnya dipakai agar terjalin keserasian atau keharmonisan di antara keluarga. Ada kayu “ambar tuah” yang maksudnya harapan agar mendapat keturunan yang banyak. Lalu ada pula kayu “sebernaik”, agar murah rezeki. “Sebenarnya jenis kayunya adalah meranti, hanya saja melalui proses pencarian kayu tadi, sang dukun menamainya demikian,” jelas Tarigan.

Pembangunan diawali dengan pendirian pondasi. “Barangkali orang dulu sudah menyadari akan adanya gempa dan bahayanya,” demikian ujar Tarigan seraya menjelaskan proses pembuatan pondasi bangunan. Pondasi awal adalah batu dan besi usang atau “besi mersing” dan “bulung simalem” yang dipasang di antara tanah dan tiang, dinamai “palas”. Selanjutnya antara tiang dan palas dipasang ijuk untuk menghindari goyangan apabila terjadi gempa.

Selain fungsi itu, masih ada makna lain di sana. Keserasian antara tiang dan palas juga menunjukkan harapan keserasian untuk penghuninya. Inilah yang dinamakan ‘larubat’ yang artinya tidak runtuh. Jika rumah larubat, maka keluarga pun demikian,” kata Tarigan.

Jika delapan menjadi satu

Begitulah mereka hidup dalam satu atap yang dituntut hidup dalam keharmonisan.

Rumah si waluh jabuh sebenarnya tidak hanya ditempati delapan keluarga saja. Ini terbukti dari contoh yang ditempati Tarigan. “Rumah ini dulunya ditempati 10 keluarga” katanya. Sebenarnya yang menjadi acuannya adalah ‘tutur si waluh’ dalam budaya adat-istiadat Karo, yaitu“ merga si lima dan rakut si telu,”katanya.

“Merga si lima” merupakan lima marga yang ada dalam masyarakat Karo, yaitu Karo-karo, Ginting, Parangin-angin, Sembiring dan Tarigan. Sedangkan “rakut si telu” Rakut si telu yakni Tiga ikatan, tiga istilah tutur kekerabatan dalam adat-istiadat, yakni “kalimbubu” (keluarga dari pihak laki-laki), “anak beru” (keluarga dari pihak perempuan) dan “senina” atau “sembuyak” (hubungan satu marga).

Hal inilah yang menandakan dibangunnya empat buah “para” (sejenis tempat penyimpanan) dan tungku masak yang terdiri atas lima buah batu di dalam rumah berkolong dan beratap ijuk itu. Satu tungku masak dipakai oleh dua keluarga. Kelima batu tungku masak terdiri atas empat batu yang berpusat pada satu batu di tengahnya. Nah, jika dilihat dari satu sudut pandang, maka terdapat tiga batu untuk satu keluarga dan tiga untuk yang lainnya. Ketiga batu inilah yang merupakan simbol rakut si telu.



Demikian pula dengan kedelapan keluarga yang hidup berdampingan satu atap itu memiliki peranan masing-masing. “Jabuh bena kayu” adalah tempat untuk kepala rumah tangga yang mengatur dan memimpin keluarga. Selanjutnya ketika laki-laki dalam sebuah keluarga Karo menikahi perempuan lain maka ia harus membawanya tinggal dengan keluarganya.

Tanpa asap rumah ini usang dimakan rayap. Saya yakin bangunan ini masih bertahan 100 tahun lagi jika asap terus mengepulinya.

Jabu yang kedua, “jabu si sungkun berita” adalah salah satu keluarga yang bertugas menanya siapa saja yang datang bertamu ke rumah itu. Ialah yang akan pertama kali membukakan pintu jika tamu datang dan memberitahukannya kepada kepala rumah tangga.

Jabu yang ketiga, “jabu si ngapuri belau” adalah salah satu keluarga yang memberikan sirih kepada keluarga yang lain. Kebiasaan makan sirih memang sudah lazim di kalangan masayarakat Karo hingga kini, khususnya wanita. Biasanya mereka menikmatinya ketika berkumpul dengan keluarga, berbincang-bincang dan bercengkarama. Dan kebiasaan memakan sirih sudah seperti kecanduan mengisap rokok bagi mereka yang sudah terbiasa.

Jabu yang keempat, “jabu si penenggel-nenggel” adalah salah satu keluarga yang bertugas mendengar dan menyimpan rahasia sebuah pembicaraan penting dalam rumah. Hal ini bisanya ketika ada pembicaraan penting seputar keluarga misalnya pada acara pernikahan dan kebiasaan adat-istiadat lainnya. “Diibaratkan dia adalah mata-mata, yang wajib mengetahui segala pembicaraan dalam keluarga dan wajib merahasiakannya,” jelas Tarigan.

Jabu yang kelima, “jabu arinteneng” adalah salah satu keluarga yang bertugas mempersiapkan urusan-urusan pesta. Menyiapakan hidangan, dan menjamu. Biasanya mereka juga dibant “jabu ujung kayu” (jabu yang keenam) yang menjadi kepala, atau yang mengkoordinir acara serta keperluan lainnya.

Jabu yang ketujuh adalah “jabu guru simeteh wari si telu puluh”. Namanya diidentikkan dengan jumlah hari dalam bulan dalam tahun yang umumnya terdiri dari tigapuluh hari dalam sebulan. Tugasnya lumayan berat, yaitu menjadi tabib, dukun beranak, penentu hari baik dan bulan baik dalam berbagai kegiatan keluarga dan menjadi orang yang diyakini memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat di luar pengetahuan anggota keluarga. “Dia sangat diperlukan dalam keluarga karena peranannya sangat penting,” tambah Tarigan.

Dan jabu kedelapan adalah “jabu si man minem” merupakan keluarga yang tugasnya tidak seberat yang lain. Bahkan, si man minem (makan minum) merupakan anggota keluarga yang dimanjakan dan dibebaskan dari tugas-tugas berat. Namanya sendiri identik dengan hidup
senang, yaitu makan dan minum.



Begitulah mereka hidup dalam satu atap yang dituntut hidup dalam keharmonisan. Ditempa dengan semangat toleransi dalam mengasapi dapurnya. Setiap harinya anggota keluarga menghabiskan waktunya di ladang dan kembali ketika senja tiba. Kembali berjumpa dan mulai mengepuli asap di rumah itu. Memang, asap sudah menjadi pertanda kehidupan.

Di samping itu asap sangat berperan penting untuk keawetan bangunan yang hampir seluruhnya terbuat dari bambu. Asap jugalah yang membuat rumah ini bertahan hingga ratusan tahun. Tanpa asap rumah ini usang dimakan rayap. Saya yakin bangunan ini masih bertahan 100 tahun lagi jika asap terus mengepulinya, katanya menyanggah anggapan pesimis bahwa rumah tua itu hanya mampu bertahan 10 hingga 20 tahun lagi.

Namun sekarang Rumah adat siwaluh jabu kian terlupakan terbukti dengan berkurangnya jumlah rumah ini di desa peceren, yang hanya tinggal 4 rumah, Itupun Hanya 3 rumah lagi yang dihuni.

Copyright By; Alto Belli Ginting

3 komentar

  1. bayu amri // 3 September 2008 pukul 10.51  

    Lumayan Juga Coy

  2. bayu amri // 3 September 2008 pukul 10.52  

    Lumayan Juga Coy

  3. Anonim // 28 Maret 2009 pukul 18.43  

    gambar pemilik blog nya manah???