Brastagi Part2

Diposting oleh Ricky_Jo Blog's | 12:47 PM | 2 komentar »


Ladang Aq Dibawah Kaki Gunung Sinabung

Kawah Sibayak

Pabrik Aqua Di Desa Doulu

Tongging

Uruk Tendi




Nyantai Di Sapo Angin

Tugu Perjuangan

Gundaling Hill

Tahura Bukit Barisan

Mersi Merga Silima
Angkot Langganan

Puncak Gunung Sinabung
Pas Diladang Ne

Peceren Kampung Halaman
Jalan Pintas Dianggap Pantas
Kalo Mau Ke Basecamp


Air Terjun Sipiso-piso


Air Terjun Sikulikap


Pasar Brastagi


Brastagi In The Morning


Sinabung


Peceren


Aku Gak Kliatan Yah....
Lanjutkan Membaca Tentang “Brastagi Part2”  »»

Berastagi Dan Bukit Gundaling

Diposting oleh Ricky_Jo Blog's | 11:07 PM | 0 komentar »


Saat Malam Menjelang

Deleng Kutu

Sunset Di Gundaling

Sunset di Berastagi


Berastagi ku






Deleng Barus


Sapo Angin


Karo Highland



Pasar Berastagi


Pajak Bunga


Pajak Buah


Kota Berastagi Dilihat Dari Puncak Gundaling


Sado


Mejuah-Juah


Beru Patimar


Pawang Ternalem



Gunung Sinabung Dari Bukit Gundaling


Puncak Bukit Gundaling


Naek Naek Ke Puncak Bukit

Bukit Gundaling
Lanjutkan Membaca Tentang “Berastagi Dan Bukit Gundaling”  »»

Berastagi

Diposting oleh Ricky_Jo Blog's | 11:01 PM | 0 komentar »

Pasar Berastagi




Memandang Sibayak dari kejauhan, kita seperti tengah memandang lanskap Jepang atau negeri-negeri Eropa. Puncaknya yang bersemburat warna keputih-putihan itu, sepintas seperti tumpukan salju. Padahal itu cuma leleran material vulkanik yang keluar dari lubang kepundan. Tak hanya itu, lanskap masih dimanjakan oleh deretan pohon pinus serta hawa sejuk pegunungan.

Pada perjalanan dari kota Berastagi menuju Gundaling Hill, salah satu objek wisata di Dataran Tinggi Karo, beberapa waktu lalu, kami menyempatkan diri berhenti di sebuah punggungan bukit. Dari sana, Sibayak yang berketinggian 2.094 meter di atas permukaan laut (dpl) itu terlihat anggun. Meski tak terlampau agung, tapi cukup membuat kagum.

Andai ada kepulan asap dari kepundannya, tentu keindahan Sibayak jadi makin sempurna. Tak ingin melewatkan kesempatan, kami segera mengarahkan lensa kamera ke arahnya, dengan latar depan reranting dan dedaunan cemara.

Sibayak dalam bahasa Karo berarti ’’raja’’. Konon pada masa lalu, Tanah Karo diperintah oleh lima orang Raja, yakni Sibayak Lingga, Sarinembah, Suka, Barusjahe dan Kutabuluh. Nah, Gunung Sibayak merupakan representasi dari kekuasaan mereka.

Kalau saja, saat itu punya cukup waktu, kami ingin sekali mendakinya. Dari cerita yang kami dengar, alam Sibayak amat kaya dan memesona. Sungai-sungainya berair jernih, ekosistemnya masih cukup terjaga, sementara puncaknya senantiasa hangat oleh gelegak magma. Masih ada lagi kemenarikan yang lain, yakni keindahan panorama yang terhampar di sepanjang jalur pendakian, dari kaki gunung hingga Takal Kuda (puncak tertinggi Gunung Sibayak). Karena amat terburu-buru, dengan terpaksa kami cuma bisa membayangkan saja: berada di Takal Kuda, menikmati kerlip bintang di hari malam, mengagumi matahari terbit di kaki langit, atau memandang Bukit Barisan yang membentang panjang dari utara ke selatan.

Perjalanan kami lanjutkan, melalui jalan aspal yang berkelok-kelok dan naik-turun bagaikan ular. Tak terlampau lebar memang, tapi relatif bagus dan mulus. Yang menarik, jalan dari Berastagi menuju Gundaling Hill itu dibuat satu arah, hingga kami tak perlu mengkhawatirkan datangnya kendaraan dari arah berlawanan. Selain Gunung Sibayak, banyak panorama menarik yang terlihat di sepanjang perjalanan yang memakan waktu sekitar 30 menit itu. Di sebelah barat ada Gunung Sinabung, sedangkan di arah timur tegak berdiri Gunung Baros menaungi kota Berastagi.

Tenang
Sesuai namanya, Gundaling Hill adalah bukit berketinggian 1.575 meter dpl. Suasananya tenang, karena jauh dari keramaian. Warga Kota Medan dan sekitarnya kerap menggunakan kawasan ini untuk tetirah di akhir pekan atau saat musim liburan. Di situ, pengunjung dapat berjalan-jalan mengelilingi taman yang dirindangi aneka pepohonan: pinus merkusii, Toona surei, durian, dadap, rambutan, pulai, hingga aren dan Rotan. Kalau beruntung, kita dapat melihat beberapa jenis hewan seperti monyet, rusa, elang, atau babi hutan. Kalau malas berjalan kaki untuk berkeliling lokasi, tersedia angkutan berupa kuda. Tarifnya lumayan mahal. Rp 60.000 tiap jam. Tapi untuk tujuan yang berjarak pasti, bisa dinegosiasi.

Lantaran bukan hari libur, suasana Gundaling Hill hari itu relatif sepi. Warung-warung makan dan hanyabeberapa kios suvenir yang buka. Tidak mengapa, justru dalam suasana seperti itu kami dapat menikmati keindahan alam secara leluasa. Dari sebuah tempat di situ, kami bisa memandang kembali Gunung Sibayak, Gunung Sinabung dan beberapa gunung kecil lain yang seperti bermunculan di dataran mahaluas. Elok dan menggetarkan.


Dari Gundaling Hill kami kembali ke Berastagi. Namun di tengah perjalanan harus berhenti untuk melihat aktivitas penduduk desa di ladang berikut bagaimana mereka merawat kuda-kuda di kandang. Di sebuah gubuk, dua perempuan muda ditemani seorang bocah berusia balita tengah bersiap-siap menggarap ladang. Mereka mengenakan sepatu bot sebagai pelindung kaki dan topi lebar untuk meredam terik matahari. Karena belum masanya panen, para petani, termasuk dua perempuan itu bekerja menyiangi tanaman sayur dan bebuahan. Dari gubuk mereka berjalan beriringan menuju ladang yang hanya berjarak sekitar 50 meter, diikuti anjing-anjing piaraan.

Laiknya daerah pegunungan berhawa sejuk pada umumnya, Berastagi juga merupakan penghasil sayur-mayur, bebungaan dan bebuahan. Di kawasan ini, ribuan hektar ladang terbentang, baik di dataran maupun lereng-lereng pebukitan. Hasil produksinya memenuhi kebutuhan masyarakat Medan dan kota-kota lain di Sumatera Utara. Di antara beragam varietas sayur, bunga, dan buah yang ditanam, hanya beberapa yang dijadikan produk unggulan. Yakni, buah markisa, jeruk manis, dan terong Belanda. Ketiganya bahkan telah menjadi semacam tanaman khas daerah Berastagi.

Di Pajak (pasar) Buah Berastagi, semua hasil pertanian mudah sekali ditemukan. Para pedagang menjajakannya di kios-kios yang tertata rapi. Ada kubis, wortel, mangga, salak, kesemek, jeruk, apel, dan labu mi. Buah yang disebut terakhir adalah sejenis labu Siam, hanya saja bentuk daging buahnya menyerupai mi. Adapun bunga yang dijual di tempat itu juga cukup beragam antara lain lili, dahlia, dan mawar.

Khusus markisa dan terong Belanda, pengunjung dapat memilih bentuk produk yang mereka suka, baik yang masih berupa buah segar atau sudah diolah menjadi jus dan dikemas dalam botol. Karena dalam bentuk aslinya, buah markisa dan terong Belanda berasa masam dan mengandung banyak biji-bijian, pengunjung cenderung menyukai yang berbentuk olahan. Selain lebih praktis, rasanya juga manis. Satu botol jus markisa atau jus terong Belanda ukuran satu liter dijual antara Rp 17.500- Rp 20.000. Pedagang biasanya menyarankan pengunjung membeli satu paket yang berisi dua botol, jus markisa dan terong belanda. Paket itu dikemas rapi dalam sebuah kotak kardus sehingga mudah untuk dibawa pulang.

Selain sayur, bunga dan buah-buahan, sebagian kios di Pajak Buah Berastagi juga menjual aneka suvenir untuk kenang-kenangan. Banyak pilihan, dari sekadar gantungan kunci, kaos, kain ulos, gelang, kalung, kopiah, sendal bermotif etnik, hingga yang menarik yaitu kalender Batak. Berbeda dari kalender masehi pada umumnya, ia dibuat dari material kayu dan bambu. Kayu diukir sedemikian rupa, biasanya bermotif rumah adat Batak. Adapun bilah-bilah bambu yang digantung di kayu berukir itu bertuliskan angka-angka tanggal yang menyerupai simbol arkais.
Lanjutkan Membaca Tentang “Berastagi”  »»

Impian

Diposting oleh Ricky_Jo Blog's | 12:09 AM | 0 komentar »

Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat-tempat kamu ingin pergi. Jadilah seperti yang kamu inginkan, kerna kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan.

Dan jangan pernah lupakan Sahabat sejati karena, Sahabat sejati adalah mereka yang sanggup berada disisimu ketika kamu memerlukan dukungan walaupun saat itu mereka sepatutnya berada di tempat lain yang lebih dari sepantasnya. Dan Sahabat yang tidak jujur ibarat dapur yang berhampiran. Jikalau pun kamu tidak terkena jelaganya sudah pasti akan terkena asapnya.

Semoga kamu mendapat cukup kebahagiaan untuk membuat kamu bahagia, cukup cobaan untuk membuat kamu kuat, cukup penderitaan untuk membuat kamu menjadi manusia yang sesungguhnya, dan cukup harapan untuk membuat kamu positif terhadap kehidupan.

Lanjutkan Membaca Tentang “Impian”  »»

Perasaan Yang Terpendam

Diposting oleh Ricky_Jo Blog's | 12:05 AM | 1 komentar »

Kemarahan tidak boleh berumur panjang di dada seorang yang berhati baik, kebaikan tidak boleh berakar di hati seseorang yang berdasar buruk.

Ketika kamu melontarkan sesuatu dalam kemarahan, kata -katamu itu meninggalkan bekas seperti lubang di hati orang lain. Kamu dapat menusukkan pisau pada seseorang, lalu mencabut pisau itu. Tetapi, tidak peduli berapa kali kamu meminta maaf, luka itu akan tetap ada. Dan, luka kerana kata - kata adalah sama buruknya dengan luka berdarah.

Kemarahan tidak boleh berumur panjang di dada seorang yang berhati baik, kebaikan tidak boleh berakar di hati seseorang yang berdasar buruk.

Kebanyakan orang membuang banyak masa dan tenaga untuk memikirkan masalah dan bukan

cuba
untuk menyelesaikannya

Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tetapi sering kali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.

Lanjutkan Membaca Tentang “Perasaan Yang Terpendam”  »»

Rumah Si Waluh Jabu

Diposting oleh Ricky_Jo Blog's | 9:48 PM | 3 komentar »

Siwaluh Jabu

Memasuki pertengahan Januari 2008 di Kabupaten Karo “simalem”, hujan terus mengguyur. Dan kabut tebal menutupi hampir seluruh cakrawala bukit barisan yang seharusnya membentang hijau itu. Angin berhembus dan cuaca begitu dingin. Pun demikian, tujuan saya untuk melihat langsung bangunan tua bersejarah “Si Waluh Jabu” di Desa Peceren yang juga kampung halaman tak berhenti hanya karena cuaca yang tidak begitu bersahabat waktu itu.

Menjelajahi kawasan pedesaan di sekitar Kabupaten Karo atau wilayah yang juga dikenal dengan “Tanah Karo Simalem” ini memang sebuah pengalaman menarik, khususnya bagi khalayak yang sudah akrab dengan hiruk-pikuk urbanisasi modern saat ini.

Memang, modernisasi bukan saja mampu membentuk pola hidup manusia yang serba instan dan cepat, tapi juga ternyata mampu mempengaruhi imajinasi. Imajinasi akan sebuah desa. Yah, begitulah desa, sebuah tempat yang masih akrab dengan sejuta nilai meski kini mulai terkontaminasi. Mulai dari tradisionalisme atau budaya hingga nilai yang mungkin tak lagi akrab di telinga orang kota, yaitu mistis. Barangkali itu jugalah yang tertangkap “Jelajah” saat mengunjungi Desa Lingga, Barusjahe dan Peceren baru-baru ini.

Desa Peceren adalah sebuah desa kecil di Kecamatan Berastagi, sekitar 1 km dari Berastagi. Desa ini, sebenarnya tak lagi setradisional yang kita bayangkan. Karena Sebagian besar penduduk kini menghuni rumah tipe perkotaan, juga karena kian menjamurnya Villa, Hotel dan Perumahan. Tapi, Desa Peceren masih menyimpan nilai sejarah budaya masa lampau yang menceritakan keaslian budaya masyarakat Karo. Hal ini dapat dilihat dari bangunan tua yang masih beridiri tegak di sana. Diperkirakan usianya kini mencapai 300 tahun. “Si waluh jabu”, desain arsiteknya unik, filosofis bahkan mistis. Bangunanya sangat unik karena dibuat tanpa menggunakan paku dan juga dapat di pindah-pindah.

Si waluh jabu; waluh artinya delapan, jabu berarti rumah. Maka, si waluh jabu berarti rumah yang dihuni delapan keluarga yang hidup harmonis dan toleran. Dan itulah sebenarnya yang menjadi makna filosofis pemberian nama itu meski pada awalnya dikenal dengan rumah “rabung lima”.

Yang unik adalah proses pembangunannya. Konon, sebelum pembangunan dilakukan, terlebih dahulu diberitahu kepada orang pintar yang akan menentukan hari baik untuk melakukan pencarian kayu ke hutan. Setelah itu, orang pintar tersebut akan menentukan apakah kayu-kayu itu layak dipakai atau tidak melalui mimpi. “Jika mimpinya baik, maka kayu itu akan dipakai tapi jika mimpinya buruk, itu pertanda buruk. Hal ini sangat penting dilakukan demi kelangsungan penghuninya nanti,” kata Tarigan seorang penghuninya.

Selanjutnya adalah penentuan hari baik untuk memulai pembangunan. Tak heran jika dalam proses pembangunan memakan waktu yang cukup lama (5-10 tahun). Pembangunan kadangakala tekendala oleh waku pencarian kayu, yang tidak sembarangan dipakai. Ada tiga jenis kayu mewakili maknanya yang sekaligus menjadi harapan masa depan penghuni rumah. Inilah makna filosofisnya.

Kayu ”ndarasi” misalnya dipakai agar terjalin keserasian atau keharmonisan di antara keluarga. Ada kayu “ambar tuah” yang maksudnya harapan agar mendapat keturunan yang banyak. Lalu ada pula kayu “sebernaik”, agar murah rezeki. “Sebenarnya jenis kayunya adalah meranti, hanya saja melalui proses pencarian kayu tadi, sang dukun menamainya demikian,” jelas Tarigan.

Pembangunan diawali dengan pendirian pondasi. “Barangkali orang dulu sudah menyadari akan adanya gempa dan bahayanya,” demikian ujar Tarigan seraya menjelaskan proses pembuatan pondasi bangunan. Pondasi awal adalah batu dan besi usang atau “besi mersing” dan “bulung simalem” yang dipasang di antara tanah dan tiang, dinamai “palas”. Selanjutnya antara tiang dan palas dipasang ijuk untuk menghindari goyangan apabila terjadi gempa.

Selain fungsi itu, masih ada makna lain di sana. Keserasian antara tiang dan palas juga menunjukkan harapan keserasian untuk penghuninya. Inilah yang dinamakan ‘larubat’ yang artinya tidak runtuh. Jika rumah larubat, maka keluarga pun demikian,” kata Tarigan.

Jika delapan menjadi satu

Begitulah mereka hidup dalam satu atap yang dituntut hidup dalam keharmonisan.

Rumah si waluh jabuh sebenarnya tidak hanya ditempati delapan keluarga saja. Ini terbukti dari contoh yang ditempati Tarigan. “Rumah ini dulunya ditempati 10 keluarga” katanya. Sebenarnya yang menjadi acuannya adalah ‘tutur si waluh’ dalam budaya adat-istiadat Karo, yaitu“ merga si lima dan rakut si telu,”katanya.

“Merga si lima” merupakan lima marga yang ada dalam masyarakat Karo, yaitu Karo-karo, Ginting, Parangin-angin, Sembiring dan Tarigan. Sedangkan “rakut si telu” Rakut si telu yakni Tiga ikatan, tiga istilah tutur kekerabatan dalam adat-istiadat, yakni “kalimbubu” (keluarga dari pihak laki-laki), “anak beru” (keluarga dari pihak perempuan) dan “senina” atau “sembuyak” (hubungan satu marga).

Hal inilah yang menandakan dibangunnya empat buah “para” (sejenis tempat penyimpanan) dan tungku masak yang terdiri atas lima buah batu di dalam rumah berkolong dan beratap ijuk itu. Satu tungku masak dipakai oleh dua keluarga. Kelima batu tungku masak terdiri atas empat batu yang berpusat pada satu batu di tengahnya. Nah, jika dilihat dari satu sudut pandang, maka terdapat tiga batu untuk satu keluarga dan tiga untuk yang lainnya. Ketiga batu inilah yang merupakan simbol rakut si telu.



Demikian pula dengan kedelapan keluarga yang hidup berdampingan satu atap itu memiliki peranan masing-masing. “Jabuh bena kayu” adalah tempat untuk kepala rumah tangga yang mengatur dan memimpin keluarga. Selanjutnya ketika laki-laki dalam sebuah keluarga Karo menikahi perempuan lain maka ia harus membawanya tinggal dengan keluarganya.

Tanpa asap rumah ini usang dimakan rayap. Saya yakin bangunan ini masih bertahan 100 tahun lagi jika asap terus mengepulinya.

Jabu yang kedua, “jabu si sungkun berita” adalah salah satu keluarga yang bertugas menanya siapa saja yang datang bertamu ke rumah itu. Ialah yang akan pertama kali membukakan pintu jika tamu datang dan memberitahukannya kepada kepala rumah tangga.

Jabu yang ketiga, “jabu si ngapuri belau” adalah salah satu keluarga yang memberikan sirih kepada keluarga yang lain. Kebiasaan makan sirih memang sudah lazim di kalangan masayarakat Karo hingga kini, khususnya wanita. Biasanya mereka menikmatinya ketika berkumpul dengan keluarga, berbincang-bincang dan bercengkarama. Dan kebiasaan memakan sirih sudah seperti kecanduan mengisap rokok bagi mereka yang sudah terbiasa.

Jabu yang keempat, “jabu si penenggel-nenggel” adalah salah satu keluarga yang bertugas mendengar dan menyimpan rahasia sebuah pembicaraan penting dalam rumah. Hal ini bisanya ketika ada pembicaraan penting seputar keluarga misalnya pada acara pernikahan dan kebiasaan adat-istiadat lainnya. “Diibaratkan dia adalah mata-mata, yang wajib mengetahui segala pembicaraan dalam keluarga dan wajib merahasiakannya,” jelas Tarigan.

Jabu yang kelima, “jabu arinteneng” adalah salah satu keluarga yang bertugas mempersiapkan urusan-urusan pesta. Menyiapakan hidangan, dan menjamu. Biasanya mereka juga dibant “jabu ujung kayu” (jabu yang keenam) yang menjadi kepala, atau yang mengkoordinir acara serta keperluan lainnya.

Jabu yang ketujuh adalah “jabu guru simeteh wari si telu puluh”. Namanya diidentikkan dengan jumlah hari dalam bulan dalam tahun yang umumnya terdiri dari tigapuluh hari dalam sebulan. Tugasnya lumayan berat, yaitu menjadi tabib, dukun beranak, penentu hari baik dan bulan baik dalam berbagai kegiatan keluarga dan menjadi orang yang diyakini memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat di luar pengetahuan anggota keluarga. “Dia sangat diperlukan dalam keluarga karena peranannya sangat penting,” tambah Tarigan.

Dan jabu kedelapan adalah “jabu si man minem” merupakan keluarga yang tugasnya tidak seberat yang lain. Bahkan, si man minem (makan minum) merupakan anggota keluarga yang dimanjakan dan dibebaskan dari tugas-tugas berat. Namanya sendiri identik dengan hidup
senang, yaitu makan dan minum.



Begitulah mereka hidup dalam satu atap yang dituntut hidup dalam keharmonisan. Ditempa dengan semangat toleransi dalam mengasapi dapurnya. Setiap harinya anggota keluarga menghabiskan waktunya di ladang dan kembali ketika senja tiba. Kembali berjumpa dan mulai mengepuli asap di rumah itu. Memang, asap sudah menjadi pertanda kehidupan.

Di samping itu asap sangat berperan penting untuk keawetan bangunan yang hampir seluruhnya terbuat dari bambu. Asap jugalah yang membuat rumah ini bertahan hingga ratusan tahun. Tanpa asap rumah ini usang dimakan rayap. Saya yakin bangunan ini masih bertahan 100 tahun lagi jika asap terus mengepulinya, katanya menyanggah anggapan pesimis bahwa rumah tua itu hanya mampu bertahan 10 hingga 20 tahun lagi.

Namun sekarang Rumah adat siwaluh jabu kian terlupakan terbukti dengan berkurangnya jumlah rumah ini di desa peceren, yang hanya tinggal 4 rumah, Itupun Hanya 3 rumah lagi yang dihuni.

Copyright By; Alto Belli Ginting
Lanjutkan Membaca Tentang “Rumah Si Waluh Jabu”  »»