Pasar Berastagi
Memandang Sibayak dari kejauhan, kita seperti tengah memandang lanskap Jepang atau negeri-negeri Eropa. Puncaknya yang bersemburat warna keputih-putihan itu, sepintas seperti tumpukan salju. Padahal itu cuma leleran material vulkanik yang keluar dari lubang kepundan. Tak hanya itu, lanskap masih dimanjakan oleh deretan pohon pinus serta hawa sejuk pegunungan.
Pada perjalanan dari kota Berastagi menuju Gundaling Hill, salah satu objek wisata di Dataran Tinggi Karo, beberapa waktu lalu, kami menyempatkan diri berhenti di sebuah punggungan bukit. Dari sana, Sibayak yang berketinggian 2.094 meter di atas permukaan laut (dpl) itu terlihat anggun. Meski tak terlampau agung, tapi cukup membuat kagum.
Andai ada kepulan asap dari kepundannya, tentu keindahan Sibayak jadi makin sempurna. Tak ingin melewatkan kesempatan, kami segera mengarahkan lensa kamera ke arahnya, dengan latar depan reranting dan dedaunan cemara.
Sibayak dalam bahasa Karo berarti ’’raja’’. Konon pada masa lalu, Tanah Karo diperintah oleh lima orang Raja, yakni Sibayak Lingga, Sarinembah, Suka, Barusjahe dan Kutabuluh. Nah, Gunung Sibayak merupakan representasi dari kekuasaan mereka.
Kalau saja, saat itu punya cukup waktu, kami ingin sekali mendakinya. Dari cerita yang kami dengar, alam Sibayak amat kaya dan memesona. Sungai-sungainya berair jernih, ekosistemnya masih cukup terjaga, sementara puncaknya senantiasa hangat oleh gelegak magma. Masih ada lagi kemenarikan yang lain, yakni keindahan panorama yang terhampar di sepanjang jalur pendakian, dari kaki gunung hingga Takal Kuda (puncak tertinggi Gunung Sibayak). Karena amat terburu-buru, dengan terpaksa kami cuma bisa membayangkan saja: berada di Takal Kuda, menikmati kerlip bintang di hari malam, mengagumi matahari terbit di kaki langit, atau memandang Bukit Barisan yang membentang panjang dari utara ke selatan.
Perjalanan kami lanjutkan, melalui jalan aspal yang berkelok-kelok dan naik-turun bagaikan ular. Tak terlampau lebar memang, tapi relatif bagus dan mulus. Yang menarik, jalan dari Berastagi menuju Gundaling Hill itu dibuat satu arah, hingga kami tak perlu mengkhawatirkan datangnya kendaraan dari arah berlawanan. Selain Gunung Sibayak, banyak panorama menarik yang terlihat di sepanjang perjalanan yang memakan waktu sekitar 30 menit itu. Di sebelah barat ada Gunung Sinabung, sedangkan di arah timur tegak berdiri Gunung Baros menaungi kota Berastagi.
Tenang
Sesuai namanya, Gundaling Hill adalah bukit berketinggian 1.575 meter dpl. Suasananya tenang, karena jauh dari keramaian. Warga Kota Medan dan sekitarnya kerap menggunakan kawasan ini untuk tetirah di akhir pekan atau saat musim liburan. Di situ, pengunjung dapat berjalan-jalan mengelilingi taman yang dirindangi aneka pepohonan: pinus merkusii, Toona surei, durian, dadap, rambutan, pulai, hingga aren dan Rotan. Kalau beruntung, kita dapat melihat beberapa jenis hewan seperti monyet, rusa, elang, atau babi hutan. Kalau malas berjalan kaki untuk berkeliling lokasi, tersedia angkutan berupa kuda. Tarifnya lumayan mahal. Rp 60.000 tiap jam. Tapi untuk tujuan yang berjarak pasti, bisa dinegosiasi.
Lantaran bukan hari libur, suasana Gundaling Hill hari itu relatif sepi. Warung-warung makan dan hanyabeberapa kios suvenir yang buka. Tidak mengapa, justru dalam suasana seperti itu kami dapat menikmati keindahan alam secara leluasa. Dari sebuah tempat di situ, kami bisa memandang kembali Gunung Sibayak, Gunung Sinabung dan beberapa gunung kecil lain yang seperti bermunculan di dataran mahaluas. Elok dan menggetarkan.
Dari Gundaling Hill kami kembali ke Berastagi. Namun di tengah perjalanan harus berhenti untuk melihat aktivitas penduduk desa di ladang berikut bagaimana mereka merawat kuda-kuda di kandang. Di sebuah gubuk, dua perempuan muda ditemani seorang bocah berusia balita tengah bersiap-siap menggarap ladang. Mereka mengenakan sepatu bot sebagai pelindung kaki dan topi lebar untuk meredam terik matahari. Karena belum masanya panen, para petani, termasuk dua perempuan itu bekerja menyiangi tanaman sayur dan bebuahan. Dari gubuk mereka berjalan beriringan menuju ladang yang hanya berjarak sekitar 50 meter, diikuti anjing-anjing piaraan.
Laiknya daerah pegunungan berhawa sejuk pada umumnya, Berastagi juga merupakan penghasil sayur-mayur, bebungaan dan bebuahan. Di kawasan ini, ribuan hektar ladang terbentang, baik di dataran maupun lereng-lereng pebukitan. Hasil produksinya memenuhi kebutuhan masyarakat Medan dan kota-kota lain di Sumatera Utara. Di antara beragam varietas sayur, bunga, dan buah yang ditanam, hanya beberapa yang dijadikan produk unggulan. Yakni, buah markisa, jeruk manis, dan terong Belanda. Ketiganya bahkan telah menjadi semacam tanaman khas daerah Berastagi.
Di Pajak (pasar) Buah Berastagi, semua hasil pertanian mudah sekali ditemukan. Para pedagang menjajakannya di kios-kios yang tertata rapi. Ada kubis, wortel, mangga, salak, kesemek, jeruk, apel, dan labu mi. Buah yang disebut terakhir adalah sejenis labu Siam, hanya saja bentuk daging buahnya menyerupai mi. Adapun bunga yang dijual di tempat itu juga cukup beragam antara lain lili, dahlia, dan mawar.
Khusus markisa dan terong Belanda, pengunjung dapat memilih bentuk produk yang mereka suka, baik yang masih berupa buah segar atau sudah diolah menjadi jus dan dikemas dalam botol. Karena dalam bentuk aslinya, buah markisa dan terong Belanda berasa masam dan mengandung banyak biji-bijian, pengunjung cenderung menyukai yang berbentuk olahan. Selain lebih praktis, rasanya juga manis. Satu botol jus markisa atau jus terong Belanda ukuran satu liter dijual antara Rp 17.500- Rp 20.000. Pedagang biasanya menyarankan pengunjung membeli satu paket yang berisi dua botol, jus markisa dan terong belanda. Paket itu dikemas rapi dalam sebuah kotak kardus sehingga mudah untuk dibawa pulang.
Selain sayur, bunga dan buah-buahan, sebagian kios di Pajak Buah Berastagi juga menjual aneka suvenir untuk kenang-kenangan. Banyak pilihan, dari sekadar gantungan kunci, kaos, kain ulos, gelang, kalung, kopiah, sendal bermotif etnik, hingga yang menarik yaitu kalender Batak. Berbeda dari kalender masehi pada umumnya, ia dibuat dari material kayu dan bambu. Kayu diukir sedemikian rupa, biasanya bermotif rumah adat Batak. Adapun bilah-bilah bambu yang digantung di kayu berukir itu bertuliskan angka-angka tanggal yang menyerupai simbol arkais.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar
Posting Komentar